Berawal
dari rahasia umum dan akhirnya menjadi pengetahuan umum, bahwa kecurangan pada
saat UN itu memang ada, dan sedihnya, aku pernah jadi ambil bagian didalamnya.
Walaupun tidak secara sengaja dan tidak ikut merencanakannya, tetap saja fakta
itu tidak berhasil menjadi pembenaran yang mengibur hatiku yang masih terasa
sesak hingga kini, setiap kali ingat peristiwa yang kelabu bagi jiwaku saat itu.
Beberapa tahun yang lalu, saat masih baru masih mengajar di sebuah sekolah menengah atas, aku berkesempatan untuk menjadi pengawas UN ulang, yang ditujukan untuk siswa peserta UN dinyatakan tidak lulus.
Sempat
geer, karena menganggap diriku “terpilih” diantara sekian banyak guru lain. Dan
sedikit gembira, karena berarti akan ada tambahan uang jajan.
Pada
hari itu, jadwal ujian mata pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang ku ampu di
sekolah. Kami berangkat bersama, ke sekolah tempat ujian itu dilaksanakan.
Disebuah sekolah negeri, yang lumayan terkenal karena dianggap bagus dan
berprestasi. Kami berangkat satu tim.
Bersamaku, ada beberapa guru lain yang “terpilih” sepertiku, dan turut serta beberapa
pejabat sekolah. Sampai detik itu aku masih merasa geer dan beruntung.
Pada
saat ujian berlangsung, perasaan mulai aneh karena ternyata aku tidak melewati
prosedur seperti mengawas ujian UN sebelumnya, dan ternyata juga, di kelas yang
tempat ku bertugas mengawas, sudah ada petugas pengawas UN yang lebih “resmi”
dariku, yang belakangan aku tahu kalau beliau adalah seorang kepala sekolah.
Jadilah aku hanya berperan sebagai “asisten” sang pengawas. Membagikan lembar
soal dan lembar jawaban. Setelah itu berdiri mematung tanpa makna disudut
kelas.
Ujian
berlangsung tenang dan tertib, sang pengawas tampak tenang dan dingin.
Murid-murid, yang sebagian besar telah hilang kepercayaan dirinya itu
mengerjakan soal ujian dengan seksama. Tidak ada hal-hal mencurigakan yang
mengarah ke kecurangan seperti desas-desus yang kudengar selama ini. “Alhamdulillah”,
bisikku dalam hati, berarti semua cerita tentang kecurangan itu hanya gosip,
atau setidaknya tidak terjadi disini, didepan mataku. Fikirku saat itu.
15
menit berlalu, aku dipanggil oleh salah seorang pejabat sekolah, diminta masuk
kedalam perpustakaan tertutup, yang didalamnya sudah ada seorang guru bahasa
Inggris lain, yang berasal dari sekolah
tersebut.
Aku
dan ibu guru itu disodori lembaran soal bahasa Inggris. Lembaran sama seperti
yang sedang dikerjakan oleh para siswa
pada saat itu.
Kami diminta untuk mengerjakan soal tersebut, berdua. Karena naif, bodoh, atau positif thinking, atau perpaduan ketiganya, aku melakukan “perintah” tersebut tanpa bertanya untuk apa dan kenapa. Malah sempat berfikir, lagi-lagi geer, “bisa jadi karena bahasa Inggrisku lebih lumayan daripada guru bahasa Inggris lain di sekolahku”. Geer yang berlebihan memang bisa membuat orang jadi bodoh.
Kami diminta untuk mengerjakan soal tersebut, berdua. Karena naif, bodoh, atau positif thinking, atau perpaduan ketiganya, aku melakukan “perintah” tersebut tanpa bertanya untuk apa dan kenapa. Malah sempat berfikir, lagi-lagi geer, “bisa jadi karena bahasa Inggrisku lebih lumayan daripada guru bahasa Inggris lain di sekolahku”. Geer yang berlebihan memang bisa membuat orang jadi bodoh.
Tidak
butuh waktu lama bagi kami berdua untuk menyelesaikan soal ujian tersebut,
sekitar 30 menit, sang pejabat sekolah yang memberi tugas tadi datang dan
meminta lembar jawaban yang sudah selesai kami isi. Setelah itu, kami diajak
bergabung dengan panitia lain-gabungan dari beberapa sekolah- masuk kedalam ruang lab, yang lagi-lagi
tertutup.
Belum
curiga, karena ruang lab kan memang ber-ac, selayaknya senantiasa tertutup.
Kufikir mungkin akan ada pembagian snack disana, atau honor, atau yang sejenis
itu.
Beberapa
menit berlalu diruangan itu, kami minum teh dan makan snack, sesuai dugaanku.
Tidak banyak mengobrol, karena memang kami, tidak saling kenal sebelumnya, hanya
basa-basi biasa. Beberapa menit berikutnya, seorang panitia masuk kedalam ruang
lab tersebut dan langsung membagikan pensil
dan penghapus kepada
masing-masing guru.
Aku
bengong sesaat dan bertanya “buat apa ini pak?”
tanyaku, heran.
Si
bapak tersebut alih-alih menjawab, malah memandangku, dengan makna yang sulit
kutangkap. Aku celingukan kewajah-wajah lain yang tampak, sedikit tegang, tapi
seperti sudah tau apa yang terjadi.
I
started to smell something fishy…
“Ada
yang tidak beres….!”,
Naluri
dan nurani, yang tadi pergi entah kemana, saat itu mulai kembali.
Dan
menit-menit berikutnya merupakan jawaban dari firasat ku itu. Mengalir gamblang.
Seorang
panitia masuk membawa lembar jawaban UN yang telah selesai dikerjakan para
siswa, dan langsung dibagikan kepada kami, seingatku, seorang guru mendapat
lebih dari satu lembar jawaban mengingat jumlah siswa yang ikut ujian lebih
banyak dari jumlah panitia pengawas yang ada.
Guess
what’s next..???
Seorang
panitia mendiktekan kunci jawaban, pastinya hasil kerjaku tadi, sedangkan kami
bertugas untuk menghapus jawaban siswa yang salah, dan mengganti dengan jawaban
yang benar, disertai dengan pesan “jangan semua di benerin ya…,biar nggak
mencurigakan..”
GOSH…!!
Baru
ngeh gunanya pensil dan penghapus yang tadi dibagikan. Kembali kuedarkan
pandangan ke semua orang diruangan, tidak ada yang menolak, apalagi shock
sepertiku. Dan kebodohankupun berlanjut dengan ikut melakukan apa yang semua
orang lakukan pada saat itu, dengan perasaan yang terus berkecamuk, takut dosa,
takut ketauan, tapi juga takut menolaknya since I had no friend at all, I mean,
who had the same feeling and point of view. I was alone..
Ditengah
kegiatan kami melakukan dosa tersebut, tiba-tiba masuk pak pengawas ujian yang
berwajah dingin itu. Hampir copot jantungku, tamatlah riwayat kami kalau ini
sampai ketahuan. Tapi..eh, lho kok…si bapak pengawas itu malah duduk dan ikut
bergabung bersama kami, dengan wajah biasa saja.
Sang
pejabat sekolah, yang rupanya sedari
tadi memperhatikan wajahku yang terlihat shocked, datang menghampiriku, berkata
pelan, tapi berwibawa “ ini rahasia, bawa sampai mati…!
Lengkap sudah….!
Campuran
berbagai rasa takut tadi kini makin berantakan karna disesaki rasa marah, muak,
dan malu. Malu terhadapdiriku sendiri., karena kebodohanku, karena kebanyakan geer, karena telat mikir, karena tidak berani menolak
apalagi menentang.
Cuma mampu berkata dalam hati “ it’s not ma place..!”.
Cuma mampu berkata dalam hati “ it’s not ma place..!”.
Dan
sekarang, setiap mendengar orang yang bercerita tentang berbagai kecurangan yang
terjadi saat UN berlangsung, perasaanku langsung ngilu.
Tapi yang tampak diwajahku adalah sebuah kamuflase, seolah-olah tak percaya dan prihatin, sementara hatiku terus berteriak,
Tapi yang tampak diwajahku adalah sebuah kamuflase, seolah-olah tak percaya dan prihatin, sementara hatiku terus berteriak,
“ hate to say this..,but I was part of them…!”